Sabtu, 22 Februari 2014

ORANGTUA, KENAPA BEGITU KEJAM PADA ANAK?

ORANGTUA, KENAPA BEGITU KEJAM PADA ANAK?

Seperti biasa, sebelum berangkat beraktivitas, saya selalu menyempatkan diri ngobrol dengan anak-anak. Biasanya ngobrol sambil berpelukan dan mencium mereka, berdoa membacakan Al Fatihah, beserta sederetan kata-kata manis di telinga mereka, lalu saya berangkat - atau mereka berangkat ke kantor.
Demikian juga Rabu pagi, 29 Januari 2014. Sebelum berangkat kerja, anak sulung kami, Gior Getarcipta, 28 tahun, ngobrol tentang kegiatannya sebagai asisten sutradara film iklan di sebuah production house. Ia memperlihatkan gambar video iklan pampers celana di mana ia ikut terlibat. Di video itu terlihat sederet anak kecil berbaju putih bercelana dan rok hijau. Sungguh menggemaskan…

Anakku, Gior, ini sangat lembut hatinya, sabar, dan penyayang…. bahkan kepada binatang peliharaan pun ia sangat care. Kucing-kucing kami di rumah sangat manja kepada Gior, karena dia selalu ingat membelikan makanan, menyiapkan makan & minum untuk mereka sebelum berangkat kerja maupun pulang kerja. Kalau kucing kami sakit, biasanya Gior lah yang paling repot menyuapi makanan cair dan obat dengan menggunakan pipet. Bahkan jika ada kucing kami yang akan melahirkan pun, Gior bersama adiknya, Zaro dan suami saya, jauh-jauh hari sudah sibuk menyediakan kardus beralas selimut untuk tempat ibu kucing melahirkan. Lalu menunggui anak-anak kucing itu lahir satu demi satu dari rahim ibunya. Salah seekor kucing kami, si Putih, malah selalu bermanja-manja, minta duduk di pangkuan Gior kalau dia sedang duduk di depan computer atau menonton TV. Bahkan, Rabu subuh minggu lalu, sehabis Gior pulang begadang mengedit film, saya mendapatinya tercenung di meja makan.
Di pangkuannya, ada seekor anak kucing kecil, yang sedang meregang nyawa karena kedinginan. Ia menyelimutinya dengan handuk dan berbotol-botol air panas yang direbusnya sendiri, untuk menghangatkan tubuh mungil bayi kucing itu. Ketika akhirnya nyawa kucing kecil ini tak terselamatkan, saya memahami betapa kecewanya Gior, namun ia mengatakan bahwa setidaknya ia telah berusaha menyelamatkan nyawa kucing itu dan mengantarnya meninggal dalam keadaan lebih hangat.

Rabu pagi, 29 Januari 2014, sebelum berangkat ke kantor, Gior bercerita tentang kejadian yang menggemparkan sore kemarin.
Seorang anak perempuan kecil, umur sekitar 6 tahun, menangis tersedu-sedu di pinggir jalan besar. Hal ini menarik perhatian orang-orang di kantor Gior, sebuah production house di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Gadis kecil berkulit putih, bergaun biru muda ini meraung raung karena bingung dan ketakutan. Ia dihukum ibunya, tidak boleh masuk ke dalam halaman rumah dan dikunci di luar pagar. Ia bingung, takut, tak tahu harus kemana. Tangisnya yang kencang dan penampilannya yang bersih terawat membuat orang berkerumun melihatnya. Setelah ditenangkan oleh beberapa orang dari kantor Gior, anak ini mengatakan ia tak berani pulang dan hanya mau di antar ke sekolahnya, yaitu sebuah sekolah swasta terkenal di Kemang, tempat anak orang kaya bersekolah. Ia hanya merasa aman dan nyaman kalau berada di sekolah.

Dengan terbata-bata, menggunakan bahasa Inggris campur bahasa Indonesia, ia bercerita bahwa tadi dimarahi oleh ibunya karena dianggap nilai sekolahnya jelek. Padahal ia merasa bahwa nilainya cukup bagus, bahkan sudah lebih bagus dari sebelumnya. Tapi ibunya tak pernah menghargai usahanya untuk mendapat nilai itu. Maka tadi ia disetrap, dikunci di luar pagar rumah. Bahkan supir dan pembantu rumahnya pun tidak berani membukakan pintu karena takut dimarahi ibunya yang galak. Mereka pasti takut kehilangan pekerjaan sandaran hidup keluarganya dan membiarkan anak ini teraniaya di luar pagar.

Gadis kecil ini agak tenang ketika sudah sampai di halaman sekolah. Namun ia tetap tidak mau pulang ke rumah, karena takut ibunya masih ingat soal nilainya tadi dan marah lagi. Ketika ditanya, mau pergi 1 jam, atau 2 jam? Ia bilang tak mau pulang, takut, nanti saja pulangnya kalau kira-kira ibunya sudah lupa. Karena tadi ibunya marah besar dan mengusirnya. Dan ia tak tahu kapan ibunya akan lupa pada kemarahannya itu….

Sementara anak itu diajak ke sekolahnya, datanglah si ibu ke kantor Gior. Sudah bisa ditebak, dia ngamuk, marah-marah sambil bingung mencari anaknya. Ia berteriak-teriak mengomeli semua orang di sana, apalagi karena ternyata anaknya dibawa ke sekolah.
Anak saya balik marah pada ibu itu, “Bu, kenapa juga ibu tega mengunci anak ibu di luar pagar? Anak ibu baru umur 6 tahun, dan Ibu menghukumnya dengan sangat keterlaluan. Apa ibu nggak tahu, di luar rumah, kejadian apa saja bisa menimpa gadis kecil ini. Dia bisa diperkosa, diculik, dimintai uang tebusan, bahkan dibunuh? Mungkin ibu memang marah sama dia, karena dapat nilai tidak sesuai harapan ibu….Tapi, Bu, menghukum anak sekecil ini, menguncinya di luar pagar rumah, apakah itu tindakan yang benar? Seberapa, sih kenakalan anak umur 6 tahun? Seberapa kuat ia bisa melawan, dan seberapa kuat ia bisa melindungi dirinya, apalagi jika sampai di usir dari rumah yang seharusnya melindunginya? Berapa, sih, nilai pelajaran yang bisa memuaskan hati ibu, kok sampai harus menghukum anak dengan cara sekeras ini?”

Dan ibu itu terus saja merepet marah-marah. Anak saya kesal karena ibu ini bahkan di kantor orang pun bisa marah-marah gak karuan. Bayangkan, bagaimana jika dia lagi marah-marah kepada anaknya, di rumahnya sendiri? Dan bagaimana pula jika nanti, setibanya anak itu di rumah, bagaimana hebatnya dia mengamuk dan mengata-ngatai anak itu…..mungkin kekejaman yang dilakukan selanjutnya akan lebih dari sekadar mengunci anak di luar pagar…. Aduuhh, saya yang sudah setua ini pun, bahkan membayangkannya saja tak sanggup…

Bagaimana nasib gadis mungil itu dalam pengasuhan orangtua yang “sakit jiwa” begini, tuntutannya terlalu tinggi, tak bertanggung jawab, dan tak pantas jadi orangtua itu? Berapa banyak orangtua yang kejam mulutnya, kejam hatinya, dan kejam juga tangannya kepada anak-anaknya?
Benarkah kita tidak kejam kepada anak-anak kita? Ibu-ibu, bapak-bapak, kekejaman terhadap anak bukan hanya soal memukul fisik, tapi juga termasuk kata-kata kasar, menghina & merendahkan; hukuman psikologis lain seperti membanding-bandingkan dan mentertawakan anak. Juga di dalamnya termasuk kekejaman dan kekerasan seksual yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat. Serta penelantaran anak, seperti tidak membiayai, tidak menyekolahkan , dan tidak memenuhi hak-hak anak.

Nah, yang seperti ini tadi, kekerasan apa namanya? Orangtuanya kaya raya, tinggal di Kemang, punya mobil mewah, dan sanggup menggaji supir dan pembantu, sekolahnya juga di sekolah swasta internasional yang mahal. Secara umum orang akan mudah menyimpulkan bahwa, karena keluarga ini kaya, berpendidikan tinggi, terhormat, maka otomatis dianggap pasti menyayangi anak, berkata-kata lembut pada anak, memperhatikan kebutuhan fisik dan emosional anak, dst…. Padahal kenyataannya…tragis…. Kalau rumah dan orangtua tak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman, lalu kemana anak-anak kecil ini akan berlindung? Saya jadi teringat pada kasus Ari Hanggara, bocah usia 8 tahun yang meninggal pada November 1984 akibat disiksa orangtuanya dengan sangat keji.

Saya paham, dalam setiap keluarga pasti ada masalah, entah soal suami selingkuh, soal ketidakpuasan di ranjang, masalah keuangan, keluarga besar, apapun…. Tapi menjadikan anak sebagai sasaran kemarahan yang tak semestinya, apakah itu pantas? Ke manakah hati nurani kita sebagai orang yang lebih tua?

Jadi, jangan heran, kalau anak-anak itu nantinya tumbuh menjadi anak yang bermasalah akibat trauma masa kecil. Ia akan kehilangan rasa percaya diri, rapuh, dan selalu mudah jatuh ke tangan orang-orang yang bermulut manis & penuh perhatian. Mungkin itu teman sebayanya, atau orang lebih tua yang memanfaatkan keluguan anak kita. Mungkin pacarnya, yang akan merayunya dengan rayuan gombal dan meminta melakukan hubungan seks sebagai tanda cinta….dan anak kita yang tidak pernah mendapat kehangatan cinta di dalam keluarga, akan mudah jatuh ke dalam rayuan predator seks di dalam rumah maupun di luar rumah…. Ketika sudah menikah pun, ia tak akan bisa lepas dari jerat suami yang menyanderanya dengan kekerasan, penghinaan dan perendahan, karena harga dirinya sudah hancur sejak kecil…

Saya jadi ingat ucapan si cantik almarhum Marilyn Monroe, bom-seks dan bintang film terkenal yang mengakhiri hidupnya secara tragis di usia 36 tahun, yaitu dengan cara bunuh diri pada tahun 1962. Dalam perjalanan hidupnya, berkali-kali ia menikah dan tersangkut affair dengan banyak pria terkenal, di antarakan Presiden AS saat itu John F. Kennedy. Orang selalu mengira bahwa dengan kecantikan dan kemolekannya, pastilah rasa percaya dirinya sangat besar, dan ia mampu menaklukkan dunia. Namun ia mengakui, bahwa sejak kecil ia tak pernah dibilang cantik oleh orangtuanya, “NO ONE EVER TOLD ME I WAS PRETTY WHEN I WAS A LITTLE GIRL. ALL LITTLE GIRLS SHOULD BE TOLD THEY ARE PRETY, EVEN THEY AREN’T”. Orangtua, sebaiknya, pujilah anakmu, walaupun ia tak cantik, tetaplah katakan bahwa ia cantik…
Demi mencari pengakuan itulah, Marilyn Monroe bertualang mencarinya dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain, seumur hidupnya….
Familiar with it, anyone?

Aduuh, orangtua, di manakah kita…. ?? Kenapa begitu kejam pada anak-anak kita? Padahal anak-anak itu tak pernah minta dilahirkan. Mereka lahir akibat pertemuan sel sperma dan sel telur orangtuanya… dan bahkan kita tak pernah benar-benar menyiapkan diri untuk menjadi orangtua yang benar… Kenapa mereka harus menanggung kemarahan dan derita hidup kita???

0 komentar:

Posting Komentar