ORANGTUA, KENAPA BEGITU KEJAM PADA ANAK?
Seperti biasa,
sebelum berangkat beraktivitas, saya selalu menyempatkan diri ngobrol
dengan anak-anak. Biasanya ngobrol sambil berpelukan dan mencium mereka,
berdoa membacakan Al Fatihah, beserta sederetan kata-kata manis di telinga mereka, lalu saya berangkat - atau mereka berangkat ke kantor.
Demikian juga Rabu pagi, 29 Januari 2014. Sebelum berangkat kerja, anak
sulung kami, Gior Getarcipta, 28 tahun, ngobrol tentang kegiatannya
sebagai asisten sutradara film iklan di sebuah production house. Ia
memperlihatkan gambar video iklan pampers celana di mana ia ikut
terlibat. Di video itu terlihat sederet anak kecil berbaju putih
bercelana dan rok hijau. Sungguh menggemaskan…
Anakku, Gior,
ini sangat lembut hatinya, sabar, dan penyayang…. bahkan kepada binatang
peliharaan pun ia sangat care. Kucing-kucing kami di rumah sangat manja
kepada Gior, karena dia selalu ingat membelikan makanan, menyiapkan
makan & minum untuk mereka sebelum berangkat kerja maupun pulang
kerja. Kalau kucing kami sakit, biasanya Gior lah yang paling repot
menyuapi makanan cair dan obat dengan menggunakan pipet. Bahkan jika ada
kucing kami yang akan melahirkan pun, Gior bersama adiknya, Zaro dan
suami saya, jauh-jauh hari sudah sibuk menyediakan kardus beralas
selimut untuk tempat ibu kucing melahirkan. Lalu menunggui anak-anak
kucing itu lahir satu demi satu dari rahim ibunya. Salah seekor kucing
kami, si Putih, malah selalu bermanja-manja, minta duduk di pangkuan
Gior kalau dia sedang duduk di depan computer atau menonton TV. Bahkan,
Rabu subuh minggu lalu, sehabis Gior pulang begadang mengedit film, saya
mendapatinya tercenung di meja makan.
Di pangkuannya, ada seekor
anak kucing kecil, yang sedang meregang nyawa karena kedinginan. Ia
menyelimutinya dengan handuk dan berbotol-botol air panas yang
direbusnya sendiri, untuk menghangatkan tubuh mungil bayi kucing itu.
Ketika akhirnya nyawa kucing kecil ini tak terselamatkan, saya memahami
betapa kecewanya Gior, namun ia mengatakan bahwa setidaknya ia telah
berusaha menyelamatkan nyawa kucing itu dan mengantarnya meninggal dalam
keadaan lebih hangat.
Rabu pagi, 29 Januari 2014, sebelum berangkat ke kantor, Gior bercerita tentang kejadian yang menggemparkan sore kemarin.
Seorang anak perempuan kecil, umur sekitar 6 tahun, menangis
tersedu-sedu di pinggir jalan besar. Hal ini menarik perhatian
orang-orang di kantor Gior, sebuah production house di daerah Kemang,
Jakarta Selatan. Gadis kecil berkulit putih, bergaun biru muda ini
meraung raung karena bingung dan ketakutan. Ia dihukum ibunya, tidak
boleh masuk ke dalam halaman rumah dan dikunci di luar pagar. Ia
bingung, takut, tak tahu harus kemana. Tangisnya yang kencang dan
penampilannya yang bersih terawat membuat orang berkerumun melihatnya.
Setelah ditenangkan oleh beberapa orang dari kantor Gior, anak ini
mengatakan ia tak berani pulang dan hanya mau di antar ke sekolahnya,
yaitu sebuah sekolah swasta terkenal di Kemang, tempat anak orang kaya
bersekolah. Ia hanya merasa aman dan nyaman kalau berada di sekolah.
Dengan terbata-bata, menggunakan bahasa Inggris campur bahasa
Indonesia, ia bercerita bahwa tadi dimarahi oleh ibunya karena dianggap
nilai sekolahnya jelek. Padahal ia merasa bahwa nilainya cukup bagus,
bahkan sudah lebih bagus dari sebelumnya. Tapi ibunya tak pernah
menghargai usahanya untuk mendapat nilai itu. Maka tadi ia disetrap,
dikunci di luar pagar rumah. Bahkan supir dan pembantu rumahnya pun
tidak berani membukakan pintu karena takut dimarahi ibunya yang galak.
Mereka pasti takut kehilangan pekerjaan sandaran hidup keluarganya dan
membiarkan anak ini teraniaya di luar pagar.
Gadis kecil ini
agak tenang ketika sudah sampai di halaman sekolah. Namun ia tetap tidak
mau pulang ke rumah, karena takut ibunya masih ingat soal nilainya tadi
dan marah lagi. Ketika ditanya, mau pergi 1 jam, atau 2 jam? Ia bilang
tak mau pulang, takut, nanti saja pulangnya kalau kira-kira ibunya sudah
lupa. Karena tadi ibunya marah besar dan mengusirnya. Dan ia tak tahu
kapan ibunya akan lupa pada kemarahannya itu….
Sementara anak
itu diajak ke sekolahnya, datanglah si ibu ke kantor Gior. Sudah bisa
ditebak, dia ngamuk, marah-marah sambil bingung mencari anaknya. Ia
berteriak-teriak mengomeli semua orang di sana, apalagi karena ternyata
anaknya dibawa ke sekolah.
Anak saya balik marah pada ibu itu, “Bu,
kenapa juga ibu tega mengunci anak ibu di luar pagar? Anak ibu baru
umur 6 tahun, dan Ibu menghukumnya dengan sangat keterlaluan. Apa ibu
nggak tahu, di luar rumah, kejadian apa saja bisa menimpa gadis kecil
ini. Dia bisa diperkosa, diculik, dimintai uang tebusan, bahkan dibunuh?
Mungkin ibu memang marah sama dia, karena dapat nilai tidak sesuai
harapan ibu….Tapi, Bu, menghukum anak sekecil ini, menguncinya di luar
pagar rumah, apakah itu tindakan yang benar? Seberapa, sih kenakalan
anak umur 6 tahun? Seberapa kuat ia bisa melawan, dan seberapa kuat ia
bisa melindungi dirinya, apalagi jika sampai di usir dari rumah yang
seharusnya melindunginya? Berapa, sih, nilai pelajaran yang bisa
memuaskan hati ibu, kok sampai harus menghukum anak dengan cara sekeras
ini?”
Dan ibu itu terus saja merepet marah-marah. Anak saya
kesal karena ibu ini bahkan di kantor orang pun bisa marah-marah gak
karuan. Bayangkan, bagaimana jika dia lagi marah-marah kepada anaknya,
di rumahnya sendiri? Dan bagaimana pula jika nanti, setibanya anak itu
di rumah, bagaimana hebatnya dia mengamuk dan mengata-ngatai anak
itu…..mungkin kekejaman yang dilakukan selanjutnya akan lebih dari
sekadar mengunci anak di luar pagar…. Aduuhh, saya yang sudah setua ini
pun, bahkan membayangkannya saja tak sanggup…
Bagaimana nasib
gadis mungil itu dalam pengasuhan orangtua yang “sakit jiwa” begini,
tuntutannya terlalu tinggi, tak bertanggung jawab, dan tak pantas jadi
orangtua itu? Berapa banyak orangtua yang kejam mulutnya, kejam hatinya,
dan kejam juga tangannya kepada anak-anaknya?
Benarkah kita tidak
kejam kepada anak-anak kita? Ibu-ibu, bapak-bapak, kekejaman terhadap
anak bukan hanya soal memukul fisik, tapi juga termasuk kata-kata kasar,
menghina & merendahkan; hukuman psikologis lain seperti
membanding-bandingkan dan mentertawakan anak. Juga di dalamnya termasuk
kekejaman dan kekerasan seksual yang sering dilakukan oleh orang-orang
terdekat. Serta penelantaran anak, seperti tidak membiayai, tidak
menyekolahkan , dan tidak memenuhi hak-hak anak.
Nah, yang
seperti ini tadi, kekerasan apa namanya? Orangtuanya kaya raya, tinggal
di Kemang, punya mobil mewah, dan sanggup menggaji supir dan pembantu,
sekolahnya juga di sekolah swasta internasional yang mahal. Secara umum
orang akan mudah menyimpulkan bahwa, karena keluarga ini kaya,
berpendidikan tinggi, terhormat, maka otomatis dianggap pasti menyayangi
anak, berkata-kata lembut pada anak, memperhatikan kebutuhan fisik dan
emosional anak, dst…. Padahal kenyataannya…tragis…. Kalau rumah dan
orangtua tak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman, lalu kemana
anak-anak kecil ini akan berlindung? Saya jadi teringat pada kasus Ari
Hanggara, bocah usia 8 tahun yang meninggal pada November 1984 akibat
disiksa orangtuanya dengan sangat keji.
Saya paham, dalam
setiap keluarga pasti ada masalah, entah soal suami selingkuh, soal
ketidakpuasan di ranjang, masalah keuangan, keluarga besar, apapun….
Tapi menjadikan anak sebagai sasaran kemarahan yang tak semestinya,
apakah itu pantas? Ke manakah hati nurani kita sebagai orang yang lebih
tua?
Jadi, jangan heran, kalau anak-anak itu nantinya tumbuh
menjadi anak yang bermasalah akibat trauma masa kecil. Ia akan
kehilangan rasa percaya diri, rapuh, dan selalu mudah jatuh ke tangan
orang-orang yang bermulut manis & penuh perhatian. Mungkin itu teman
sebayanya, atau orang lebih tua yang memanfaatkan keluguan anak kita.
Mungkin pacarnya, yang akan merayunya dengan rayuan gombal dan meminta
melakukan hubungan seks sebagai tanda cinta….dan anak kita yang tidak
pernah mendapat kehangatan cinta di dalam keluarga, akan mudah jatuh ke
dalam rayuan predator seks di dalam rumah maupun di luar rumah…. Ketika
sudah menikah pun, ia tak akan bisa lepas dari jerat suami yang
menyanderanya dengan kekerasan, penghinaan dan perendahan, karena harga
dirinya sudah hancur sejak kecil…
Saya jadi ingat ucapan si
cantik almarhum Marilyn Monroe, bom-seks dan bintang film terkenal yang
mengakhiri hidupnya secara tragis di usia 36 tahun, yaitu dengan cara
bunuh diri pada tahun 1962. Dalam perjalanan hidupnya, berkali-kali ia
menikah dan tersangkut affair dengan banyak pria terkenal, di antarakan
Presiden AS saat itu John F. Kennedy. Orang selalu mengira bahwa dengan
kecantikan dan kemolekannya, pastilah rasa percaya dirinya sangat besar,
dan ia mampu menaklukkan dunia. Namun ia mengakui, bahwa sejak kecil ia
tak pernah dibilang cantik oleh orangtuanya, “NO ONE EVER TOLD ME I
WAS PRETTY WHEN I WAS A LITTLE GIRL. ALL LITTLE GIRLS SHOULD BE TOLD
THEY ARE PRETY, EVEN THEY AREN’T”. Orangtua, sebaiknya, pujilah anakmu,
walaupun ia tak cantik, tetaplah katakan bahwa ia cantik…
Demi
mencari pengakuan itulah, Marilyn Monroe bertualang mencarinya dari
pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain, seumur hidupnya….
Familiar with it, anyone?
Aduuh, orangtua, di manakah kita…. ?? Kenapa begitu kejam pada
anak-anak kita? Padahal anak-anak itu tak pernah minta dilahirkan.
Mereka lahir akibat pertemuan sel sperma dan sel telur orangtuanya… dan
bahkan kita tak pernah benar-benar menyiapkan diri untuk menjadi
orangtua yang benar… Kenapa mereka harus menanggung kemarahan dan derita
hidup kita???
Sabtu, 22 Februari 2014
ORANGTUA, KENAPA BEGITU KEJAM PADA ANAK?
02.20
No comments
0 komentar:
Posting Komentar